Pembalasan Para Hacker

Belakangan ini Jonathan Littman kelimpungan. "Hari-hari yang sulit bagi saya," katanya. Musababnya adalah karena beberapa hacker --ahli ngoprek komputer, baik software maupun hardware-- telah mengancamnya. "Anda harus bertanggung jawab. Saya bersumpah akan membaktikan hidup saya untuk membalas," bunyi sebuah "e-mail kaleng" yang ditujukan padanya. Serupa dengan surat kaleng, tentu saja "e-mail (electronic mail, alias surat elektronik) kaleng" dikirim tanpa pengirim."Tindakan yang akan saya lakukan jauh lebih buruk ketimbang yang Anda dapat bayangkan," tambah e-mail kaleng itu.

Ada apa sehingga beberapa hacker getol memburunya? Littman yakin, tulis majalah Time (19 Mei 1997), sumber kepusingannya adalah bukunya yang baru saja terbit, The Watchman: The Twisted Life and Crimes of Serial Hacker Kelvin Poulsen. Kevin Poulsen adalah salah seorang hacker yang paling jempolan, dan hacker pertama yang didakwa melakukan spionase (meski kemudian dakwaan terakhir ini dibatalkan). Poulsen, misalnya, pernah mencurangi kontes yang diadakan sebuah radio di Los Angeles. Radio tersebut menghadiahkan mobil bagi penelepon ke-102 setelah sebuah lagu. Dengan menerobos komputer perusahaan telepon, Poulsenlah penelepon ke-102 itu. Tak tanggung-tanggung, ia menyerobot dua mobil sport mewah Porsche masing-masing harganya 50 ribu dolar (sekitar 120 juta). Poulsen juge iseng menyadap percakapan intim beberapa aktris Hollywood, mengacak-acak komputer militer dan melongok penyelidikan FBI pada Ferdinand Marcos.

Dalam hukuman masa percobaan, Poulsen diharamkan menyentuh komputer selama tiga tahun. Poulsen, 31 tahun, memang diwawancarai Littman dalam penulisan buku itu. Littman, tentu saja, menggali sumber-sumber lain, dan itu membuat Poulsen tampak buruk. Poulsen sendiri, lewat home-page temannya (lihat catalog.com/kevin) membuat plesetan buku itu, The Litt-Man: The Twisted Lies and Writtings of Serial Hack Jonathan Littman. Harap maklum, hack di sini berarti pengarang roman picisan.

Yang lebih buruk juga terjadi, dan membuktikan bahwa ancaman beberapa hacker bukan omong kosong. Oleh seseorang tak dikenal, bukan Poulsen, akses Littman ke Internet telah diganggu, kotak surat e-mailnya diblokir, dan home page-nya tempat mempromosikan bukunya telah dihapus.

Padahal, sebelumnya Littman adalah orang kepercayaan para hacker. Tatkala Littman menulis buku tentang Kevin Mitnick, 30 tahun, juga seorang hacker jempolan yang telah diburu FBI bertahun-tahun, berjudul The Fugutive Game, para hacker memujinya. Wawancara lewat telepon pun dilakukan ketika Mitnick masih buron. Konon, dengan mengangkat telepon tak mustahil Mitnick bisa memerintahkan komputer peluncuran rudal atau mengacaukan pasar uang dunia. Di buku itu, Littman bersimpati dan memahami Mitnick, yang digelari "teroris komputer" oleh pihak berwajib. Sejak saat itu, Littman sering ditelepon para hacker. "Bahkan saya menerima telepon dari seorang hacker lain yang sedang diburu FBI," kata Littman.

Pengalaman buruk serupa juga telah dialami Joshua Quittner, setelah bersama Michele Slatalla menulis buku Masters of Deception: The Gang that Ruled Cyberspace. Isinya adalah kisah nyata persaingan dua gang remaja tanggung --nama gang itu cukup garang: Legion of Doom dan Masters of Deception--untuk menembus jaringan komputer nasional. Kotak surat e-mail-nya diacak-acak dan teleponnya dikerjain --sekali selalu terhubung ke negara bagian yang lain, kali yang lain ke telepon penjaja seks. Diperlukan waktu setahun, setengah lusin nomor telepon tak terdaftar dan sepasukan orang dari perusahaan keamanan telepon sebelum ganggguan itu lenyap.

Masih berminat menulis buku tentang hacker? Quittner sudah kapok."Mendingan menulis tentang Scientologi," tulisnya. Scientologi, kita tahu, adalah semacam "aliran kepercayaan" pimpinan Ron Hubbard (seorang pengarang fiksi-sains terkenal), yang beranggotakan diantaranya artis beken Tom Cruise dan John Travolta. Meski kelompok ini juga gampang sewot kalau dikritik, toh tak akan semengganggu para hacker.

Littman mulai berpikir serupa. Meski masih sangat tertarik pada tema tentang hacker, ia berpikir hal itu tak sebanding kerepotan yang dialaminya. "Seandainya saya akan menulis buku lagi tentang hacker, mungkin bentuknya fiksi saja," katanya. Tapi, tampaknya, itu tak menjamin ia akan aman-damai. Bagaimana jika buku itu, meski fiksi alias bukan kisah nyata, mengungkap sisi gelap para hacker?

Selayaknya Littman tetap hati-hati.

0 komentar: